Assalamu'alaikum.... Selamat datang...

Selasa, 08 Maret 2011

Nonton Rumah tanpa Jendela

Hari Sabtu lalu, tepat tanggal 5 Maret 2011, kami sekeluarga mengagendakan weekend dengan acara nobar film 'Rumah Tanpa Jendela'. Awalnya memang termotivasi provokasinya Mbak Asma nadia dan mas Isa Alamsyah yang begitu gencar menghimbau masyarakat luas untuk menonton film ini. Karena memang berkualitas, hasilnya pun untuk kegiatan sosial 100%. MMMM.... hebat, gak tanggung-tanggung. Terobosan yang luar biasa.

Selain itu, dikatakan beliau-beliau bahwa jika kita tidak berperan aktif dalam mengapresiasi film-film berkualitas seperti ini, masa tayangnya di bioskop pun tak akan bertahan lama. Terbukti. Ketika diinfokan tayang perdana tanggal 24 Feb 2011, kami merasa ah... entar ajalah... Deket ini, tinggal ke Cibubur Junction. Begitu, pikiran ini berargumentasi. Padahal, udah diwarning sama Mbak Asma kl dalam 3 hari pertama tidak banyak yg nonton, maka hari keempatnya akan diturunkan, alias tidak diputar lagi di bioskop yang bersangkutan. Nah, pas awal Maret nyari-nyari info jadwal tayang di 21 Cibubur Junction, ternyata sudah tidak ada. Waduh....

Berhubung pengen banget nonton film yang katanya sangat edukatif untuk anak-anak, plus jarang-jarang ada film beginian, saya pun mencari info lagi, kemana nih bioskop terdekat yang masih nayangin. Alhamdulillah, Mbak Asma ngasih kabar, kalau di 21 Pondokgede masih tayang. Yes, kita jalan-jalan, anak-anak..... Akhirnya serombongan anak beranak pun berbondong-bondong naik taxi ke Mall Pondokgede.

Karena jadwal tayangnya jam 11.45, maka jam 09.30 kami mulai memesan taxi. Bukannya pengen jalan-jalan atau belanja dulu, macetnya itu yang bikin ketar-ketir. Mitos Pondokgede biang macet memang bukan sekedar mitos, tapi memang begitulah adanya. Tapi alhamdulillah, pagi itu perjalanan tidak begitu banyak kendala. Sebenarnya sih.... gak gitu ngerti juga, sih... Habis, baru jalan beberapa saat, saya udah ketiduran. Pas terbangun sejenak, tengok kursi depan, eh.... ternyata Abah sama Difa juga lagi nikmat banget terayun-ayun dibuai mimpi. Sementara Nabil, Adila dan faqih yang berhimpit-himpitan di jok belakang pun tak jauh beda keadaannya. Tidooorrr..... Singkat cerita, sampailah kami di Mall Pondokgede yang sudah ramai pengunjung. Segera meluncur ke 21, pesan tiket, tak lama kemudian, pintu teather 3 dibuka, daaaannn.... masuk, deh, kita..... Nonton.

Dalam suasana bioskop yang gelap dan penonton yang mulai larut dalam kisah yang terpampang dilayar, awalnya terasa biasa-biasa saja. Film ini terasa datar di permulaan. Tak ada konflik, dan ya.... datar aja, gitu ceritanya.

Tapi, begitu mulai masuk ke pertengahan cerita, mulai terasa, dech suasana-suasana yang cukup dramatis. Dari tokoh Bapak yang diperankan oleh Rafi Ahmad yang mengusir tokoh Budhe (Yuni Shara) karena nggak sudi menerima bantuan dari hasil yang dikatakan haram, karena si Budhe adalah seorang wanita simpanan, dan bagaimana seorang Budhe berusaha menyampaikan rasa keberbaktiannya sebagai seorang anak dan seorang Budhe kepada keponakan yang sangat ia sayangi. Inti ceritanya padahal bukan di situ, tapi konflik yang bikin cerita ini hidup justru dimulainya dari sini. Paling tidak, menurut saya, sih....

Semakin lama, cerita pun mulai memanas dan hingga akhir kisah, bener-bener penuh pesan dan intrik yang cukup menguras rasa dan air mata. Dalam gelapnya suasana, saya sempat melirik ke Nabil yang terdengar cukup keras menahan isaknya, namun airmatanya betul-betul tak terbendung. Diam-diam, saya selipkan tisu ke tangannya yang disambutnya dengan senyum malu. Oow.... ketahuan nangis... Tapi, tak lama kemudian Nabil langsung ketawa kecil sambil menunjuk saya, "Hhehehe... Umi nangis juga, ya...." Yah.... ketahuan, dech.... Akhirnya kamipun terkikik-kikik menahan tawa disela derai airmata.

Selesainya tayangan, ketika lampu kembali dinyalakan, ternyata hampir semua penonton terlihat sembab. Bahkan, kata suami saya, dia sempat melihat seorang bapak yang masih sibuk menyapu wajahnya dengan sapu tangan berulang-ulang. Mmmmm.... Mantab... Begitu menghipnonya film ini, hingga mampu menyihir kami dalam suasana yang mengharu biru. Jujur, saya sendiri sampe nyesek, lho.... ^_^

Seusai menonton film, saya sempat ngobrol sama anak-anak yang sudah SD, yaitu nabil (kelas 3) dan Adila (kelas 1). Berulang-ulang Nabil bilang, "Kasihan banget, ya, Mi." Saya katakan, "Jangan hanya berhenti dengan rasa kasihan dan tangisan saja, tapi kita harus bisa mengambil pelajaran dari cerita tadi, ya..." nabil pun mengangguk dan langsung ngacir.

Sementara Adila, tiba-tiba memeluk saya dan berkata dengan agak terbata, "Mi, maafin aku, ya. Aku jarang do'ain Umi. Mulai sekarang, kalo habis shalat, aku mau berdoa buat Umi." Sambil saling berpelukan, saya jawab, "Terima kasih, sholehah.... Umi sayang Adila..."

Mmmmmhh.... Subhanallah.... Benar kata Mbak Asma. Cerita memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk membentuk pemahaman dan sikap bagi anak-anak. Buat orang dewasa juga, sih.... Tapi, bagaimana bangsa ini akan memiliki pemahaman yang baik, kepekaan sosial yang kuat, toleransi yang bagus, jika medianya masih didominasi dengan tayangan-tayangan yang penuh dengan aroma takhayul, mistis, dan cabul? Dan itu fakta, diantara 4 film yang ditayangkan di 21 Pondokgede saat itu, 3 film yang lain adalah film seks dan horor. Masya Allah.....

Tidak ada komentar:

.