Assalamu'alaikum.... Selamat datang...

Sabtu, 05 Oktober 2013

Mengenal Diri dan Anak (Jogja Parenting Club part 1)

Sebenarnya untuk edisi perdana dengan tema ini, saya datang agak terlambat. Tapi.... untunglah, masih bisa menangkap cukup banyak materi yang disajikan oleh trainer kita, Bunda Wening. Dalam kondisi rada ngos-ngosan setelah terbirit-birit di jalanan plus deg-degan, secara.... Info yang saya dapat acara dimulai jam 13.00 dan selesai jam 14.30. Sementara saya baru nongol di lokasi aja udah jam 14.15. Gimana nggak setress...? Malah awalnya saya sempat mau mengurungkan niat untuk tetap hadir, tetapi alhamdulillah wa syukurillah, Allah masih sayang sama saya, dan menguatkan tekat untuk tetap hadir. Dan ternyata sodara-sodara..... Saya masih bisa dapat materi dalam waktu cukup lama, hingga pukul 15.45. Dan ada yang bilang, acaranya belum lama dimulai, kok...  Alhamdu....lillaah.....

Dan di sini saya akan menuangkan sedikit banyak apa yang telah saya dapatkan dari acara parenting itu. Monggo, kita simak sama-sama, ya....

Hal pertama yang saya tangkap dari pembicara adalah, di dalam berinteraksi dengan anak, sebagai orangtua kita harus mengenal siapakah anak kita? Ketika pertanyaan ini dilontarkan, kami spontan terdiam. kemudian, bunda melemparkan pertanyaan berikutnya. Anda tahu uang sepuluhribuan? Audiens serempak menjawab, tahuuuuu...... Anda tahu, siapa tokoh yang gambarnya ada di sana? Hehe.... Pada mikir, dah.... Anda tahu uang duapuluhribuan? Tahuuuu..... Mulai, deh, ada yang tangannya meraba-raba tas. Nyari contekan duit. hahaha.... Pertanyaan yang sama dilontarkan, dan tidak semua audiens bisa menjawab secara lantang. Dan, ketika ditanya siapa tokoh yang ada di uang seratusribuan? Serempak audiens menjawab dengan tepat. gerrr...... Kalau yang itu cepet bener, yak?

Apa hubungannya dengan kita dan anak, ya? Mulai, deh, mikir.... Ternyata, Bun, Yah.... Kita, seringkali merasa bahwa sebagai orangtua, yang telah merawat dan membesarkan mereka, yang berinteraksi setiap hari dengannya, sebagaimana kita berinteraksi dengan uang-uang tadi, seringkali merasa telah begitu mengenal anak-anak kita. Yakin, lagi. Tapi.... ketika diajukan pertanyaan: Si Sulung itu, gaya belajarnya bagaimana, Bun? Si Tengah karakternya seperti apa, sih? Si Bungsu, kelebihannya apa, ya? Glek. Apa, ya? Ternyata..... Kita saja sebagai orangtuanya belum tentu mengenali anak-anaknya sendiri. Waduh..... astaghfirullah.... Katanya siap membesarkan dan mendukung minat dan bakatnya. Katanya mau mensupport belajarnya sebaik mungkin... Tapi, bagaimana mungkin itu semua kita lakukan, jika kita sendiri belum mengetahui bagaimana gaya belajar (learning style)nya, bagaimana karakternya, dan sebagainya? Nah, ternyata, untuk membesarkan anak, memang mudah. Tapi membesarkan dengan pendidikan dan pengasuhan yang tepat, ternyata butuh ilmu..... MakJLEBBBB.......

Boleh dibilang, semua orangtua tidak ada yang berniat buruk kepada anaknya. Dengan kata lain, niatnya insya Allah pasti baik. Betul?? Tapi niat yang baik, terkadang diintegrasikan dengan cara-cara yang tidak benar, bisa menghasilkan persepsi yang tidak pas. Konkretnya gini.... Kita pengen anak kita jadi pelajar yang rajin belajar. Nggak salah, dong.... Pasti!! Lalu kita suruh anak kita belajar tiap hari dengan pengawasan yang ketat, kita kondisikan rumah dalam keadaan tenang agar anak bisa konsentrasi, dan kita temani anak kita. Tanggung jawab, dong.... Pertanyaannya, apakah setiap anak akan merasa senang dan nyaman dengan kondisi tersebut? Ya iya, lah....Yakin??? Pastinya... Secara, kita sudah mengkondisikan sedemikian rupa seperti kita dulu belajar. Masih yakin....? Jawabnya adalah.... Belum tentu....

Saya jadi ingat curhat teman di FB yang sudah meluangkan waktu untuk menemani anaknya belajar. Tapi... anaknya bertingkah macam-macam dengan berbagai alasan, sehingga suasana belajar menjadi tidak kondusif. Hehehe.... Sori, ya, kalau yang diceritain baca tulisan ini... :D Apa yang sedang terjadi, ya?

Menurut Bunda Wening, ada step-step yang terlewati dalam kasus ini. Sangat mungkin, orangtua belum mengenal gaya belajar si anak. Bagaimana bisa? Bisa banget.... sayangnya, sebagai orangtua, kita-kita ini bisa dibagi menjadi 3 oleh pembicara, yaitu:
- Tipe orangtua yang tidak tahu dan tidak mau tahu
- Tipe orangtua yang tahu tapi tidak mau melakukan
- Tipe orangtua yang mau tahu dan mau melakukan, tapi belum mampu.
Nah, termasuk yang mana, ya, kita? Saatnya introspeksi diri.... #ambil_cermin

Lalu, langkah-langkah apa yang yang harus ditempuh orangtua untuk bisa mengenali anak-anaknya? Pertama adalah, dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Bagaimana seseorang bisa mengenali orang lain, jika dia tidak mampu mengenali dirinya sendiri? Bahkan ada kata-kata bijak yang dikenal yaitu: "Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka ia tidak mengenal Tuhannya."
Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah kita mengenali diri kita sendiri? hehehe.... Sepertinya, pada pertemuan pertama waktu itu, pembicara berhasil membuat audiens terdiam berkali-kali dengan pikirannya masing-masing yang saya kira, sama belibetnya dengan pikiran saya. Ngaku.com pokoknya. mari kita telanjangi diri kita masing-masing. Ups, fulgar amat, ya bahasanya.... Kena sensor. hehehe....

a. Learning Style
Ok. Sebelum mengenal kepribadian, dipaparkan terlebih dahulu mengenai Learning Style atau gaya belajar. Kira-kira, apa gaya belajar Anda, Bun/Yah?
Gaya belajar dibagi menjadi 3, yaitu:
- Visual
- Auditory
- Kinestetik

Seseorang dengan gaya belajar visual memiliki kekuatan di bagian mata. Fungsi penglihatannya sangat optimal. Dia belajar dari melihat, mengamati, menyukai gambar, warna, diagram, komputer, video, fotografi, memperhatikan penampilan, senang bertemu orang lain, dan hal-hal yang sifatnya dapat terdeteksi oleh indera penglihatannya. Orang model begini, nih, kalau belajarnya menggunakan mind map (peta pemikiran) yang warna-warni, hmmm.... bisa efektif banget.

Sedangkan pemilik gaya belajar auditory memiliki kekuatan pada pendengarannya. Dia lebih suka belajar diiringi musik, mendengarkan penjelasan, diskusi, suka ngobrol, mudah hafal lirik lagu, bahkan sampai ketukannya, mudah mengingat dengan cara mengulang-ulang dengan suara keras, mudah mengingat nama, mampu mendeteksi intonasi suara, dan pendengar yang baik. Orang ini, nih, kalau ngerumpi wuidih.... betaaahhhh..... hehehe.... hayo, siapa yang gayanya auditory, ngakuuuu..... :D

Nah, untuk yang punya gaya belajar kinestetik, dia ini kekuatannya ada pada gerakan dan atau indera pengecapan, juga penciuman atau sensori. Tipe ini adalah mereka yang biasa dikenal dengan "orang yang nggak bisa diem", lah. Pantatnya ada pakunya, lah. Nggak ada matinya, lah. Pethakilan, dan berbagai macam label sering diperoleh orang-orang kinestetik. Dan sayangnya, rata-rata labellingnya ini cenderung ke arah yang negatif dan kontra-produktif. Padahal dia hanya butuh cara belajar yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang jaman dulu yang cenderung anteng, kalem, nurut, dan seterusnya.
Si kinestetik ini senang dengan sentuhan (sering-seringlah mengelus, mengusap, memeluk, mencium, atau menepuk-nepuk punggung anak kinestetik), menghafal sambil jalan-jalan atau bahkan sambil lompat-lompat (alamak..... mampukah kita? hehehe...), belajar sambil mengunyah permen karet juga direkomendasikan, menggunakan benda-benda di sekeliling untuk bisa dipegang, diraba, belajar lebih suka praktek daripada teori, hobby makan (asik, nih), suka menari/senam, mudah hafal gerakan-gerakan, memperagakan sesuatu, dan hal-hal yang sifatnya bergerak.

Dan pada diri seseorang, terkadang terdapat kombinasi beberapa learning style, namun tetap ada salah satu yang dominan.

Dengan memahami gaya belajar ini, diharapkan kita bisa bersikap lebih arif dalam menilai dan menyikapi, bahwa gaya belajar seseorang itu tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa diseragamkan. Lalu apa jadinya, bila kita sebagai orangtua yang misalnya bergaya visual sedangkan anaknya bergaya auditory akan saling menghargai dan mendukung, jika tidak ada pemahaman sebelumnya? Yang akan terjadi ya pemaksaan demi pemaksaan kondisi belajar yang tidak pas dengan gaya belajar si anak, sehingga ketika anak tidak mampu menyerap pembelajaran, label bodoh, tulalit, ataupun yang negatif lainnya akan mengudara dan terulang-ulang hingga lama-kelamaan melekat dalam pribadi seorang anak. Lalu apa jadinya jika ia kemudian meyakini bahwa ia memang tidak bisa dan merasa bodoh? Bagaimana masa depannya? Inilah yang dinamakan gugur sebelum berkembang.

Padahal, andai saja kita tahu bahwa dia hanya butuh gaya belajar yang agak berbeda dengan gaya kita, dan kita mampu menghargai perbedaan itu, alangkah indahnya. Kita sebagai fasilitator sepantasnya mendukung proses belajarnya sesuai gaya belajar yang dia miliki. Maka tidaklah berlebihan jika para pakar pendidikan itu berkata, bahwa tidak ada anak yang bodoh. Karena Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal.

Wuih.... Sampai segitunya, ya.... Saya sendiri begitu mengenal semua ini, rasanya ingin sekali meminjam kantong ajaib Doraemon. Pengen minjem mesin waktu, untuk diputar ke belakang dan ingin membenahi kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat ke anak-anak saya. Ya Allah.... ampunilah hamba-Mu yang dhoif ini.... Maafkan ummi, ya, nak.... hiks.....

Waduh, udah panjang bener.... Padahal masih banyak yang belum ditulis. Udah keriting, nih, jarinya... To be continued aja, ya... Masih ada topik tentang personality yang nggak kalah serunya untuk dibahas. tapi insya Allah ditulis di posting berikutnya. udah ngantuk, sodara-sodara..... :(

Anyway, terima kasih udah berkenan membaca tulisan ini hingga di sini. Karena, membaca itu bikin capek sebenarnya. Tapi bagi yang senang ilmu, insya Allah nggak, ya.... Sampai di sini dulu postingan ini. Dilanjut besok, ya.... Insya Allah. Mudah-mudahan ada kesempatannya. Semoga yang ini juga bisa bermanfaat. Aamiin....

Tidak ada komentar:

.