Assalamu'alaikum.... Selamat datang...

Kamis, 16 Februari 2012

The Most Wanted Teacher for A Better Indonesia




Pak Guru sang Pemimpin Desa


Sudah sejak lama niat itu dipendam dalam-dalam, namun akhirnya niat itu mengkristal menjadi tekad membara yang bagai gelombang tsunami siap menggulung siapa saja yang berdiri pongah menghalangi jalannya. Tekad kuat itu adalah keyakinan untuk merevolusi pendidikan di negerinya yang carut marut tidak keruan. Revolusi yang dimaksud bukanlah melawan pemerintah, namun merancang pendidikan sendiri bersama komunitas desa dan menunjukkan pada Indonesia bahwa itulah pendidikan yang sejatinya baik dan benar bagi bangsa Indonesia.

Keyakinan bahwa pendidikan adalah solusi bagi kebangkitan bangsanya, dan tiada lagi sesudah itu, benar-benar terpatri kuat dalam benaknya. Semangat dan keyakinan berpadu, membuncah-buncah dalam benak dan hati.

Sanwani, begitu nama pemuda kelahiran betawi asli, sarjana Fisika dari PTN yang konon hebat di Pulau Jawa, sang pemilik tekad itu. Walau dia sarjana Fisika, kecintaannya pada dunia pendidikan dan kepedulian kepada anak-anak generasi masa depan bangsa, benar-benar mendarah daging.

Sanwani adalah anak pertama dari 13 bersaudara. Waktu kecil dia suka bermain sekolah-sekolahan, biasanya adik-adiknya beserta teman-teman adiknya menjadi kelinci percobaan sebagai muridnya. Tentu saja Sanwanilah gurunya sekaligus pembuat rapotnya. Orang tuanya yang asli Betawi, memberinya tanggung jawab mengangon kambing sekaligus mengarit (menyabit) rumput untuk pakannya.

Ketika agak besar, dia sering dipercaya menggantikan ustadz Somad atau Wan Rosyid, guru ngaji di kampungnya di bilangan Palmerah, untuk mengajarkan pelajaran agama di langgar. Kecintaannya pada dunia pendidikan begitu mendalam, namun sayangnya kedua orang tuanya tidak mengizinkannya masuk Institute Keguruan setamat SMA, jadilah Sanwani masuk Fakultas MIPA di sebuah PTN.

Kesadaran kritisnya semakin tumbuh sumbur selama masa perkuliahan, namun kesadaran itu tidak didapat dari ruang-ruang belajar di kampus, tetapi didapat dari kegemarannya mendalami sejarah dan keterlibatannya dalam berbagai aktifitas gerakan mahasiswa di kampus. Pendapat bahwa Pendidikan sebagai salah satu dimensi peradaban untuk melahirkan peran-peran peradaban, semakin menambah keyakinannya. Sebagaimana gerakan anti penindasan seperti Ikhwan di Mesir, Santini Ketan di India, Taman Siswa dan Muhammadiyah di Indonesia dstnya, semuanya berporos pada pendidikan, begitulah sejarah berbicara.

Dari mana memulainya? Sanwani menyadari kenyataan bahwa kampung-kampung Betawi yang dulu indah hijau dan warganya yang ramah kepada setiap pendatang, kini semakin tergusur tanpa ampun. Kekeluargaan tercerai berai, kemiskinan merayapi banyak sanak keluarganya karena budaya berkebun orang-orang Betawi tergusur pembangunan kota Jakarta yang sama sekali tidak hijau dan tidak ramah, Kota Jakarta kini tidak menginginkan tukang kebun buah dan tukang bunga tradisional, semua sudah diambil alih para produsen kakap atau importir. Dari sini Sanwani menyadari bahwa kedaulatan dan kemandirian bangsa tidak bisa tidak harus dimulai dari Kampung dan Desa!

Tekadnya sudah kuat, kepahitan dan ketersingkiran warga kampung-kampung Betawi akibat urbanisasi tidak boleh terulang. Dia harus berbuat sesuatu dan bukan dimulai dari kampung kelahirannya yang sudah kehilangan kearifan lokal bahkan pudar komunitasnya, namun dimulai dari desa sekitar Jakarta. Pendidikan adalah pilihan perjuangannya, dan desa adalah medan perjuangannya karena itulah keyakinannya.

Lalu bersama keluarganya, seorang istri dan dua orang anaknya yang masih kecil, dia memutuskan untuk hijrah ke salah satu kecamatan di Karawang. Dibelinya sebidang Lahan dengan beberapa petak lahan kebun dan sawah, dari uang pesangon di perusahaan tempatnya bekerja di Jakarta. Sanwani mulai menjalani kehidupannya di desa sambil sedikit berkebun dan beternak.

Awalnya dibuatlah taman bacaan di rumahnya, anak-anak desa boleh membaca sepuasnya secara gratis. Sesekali anak-anak diajarkan teknologi sederhana, seperti membuat kompor matahari, pembangkit listrik mini tenaga angin atau air dan sebagainya. Latar belakang pendidikan Fisika sedikit banyak membantunya, walaupun kebanyakan rancangannya adalah modifikasi dari Internet. Jaringan di Sosial Media pendidikan di internet juga banyak membantu melahirkan idea-idea yang bermanfaat.

Selain itu Sanwani juga pandai membangun "local network" dengan mengambil hati para Ustadz di kampung itu, sehingga lambat laun dipercaya pula mengelola majlis taklim Ibu-ibu dan sesekali Bapak-bapak. Kesempatan ini dipergunakan Sanwani untuk memberi penyadaran mengenai apa sesungguhnya tujuan pendidikan.

"Bapak Ibu sekalian yang dimuliakan Allah, pendidikan sejatinya adalah memberikan manfaat bagi masyarakatnya, bukan sekedar menumpuk pengetahuan yang tidak terkait dengan permasalahan sosial dan lingkungan", begitu pesan-pesan Sanwani yang senantiasa disampaikan.

Taman Bacaan Sanwani kini berkembang menjadi Pusat Kegiatan Belajar Warga. Diskusi-diskusi permasalahan warga dari urusan pengasuhan anak sampai hama wereng kini menjadi agenda menarik baik di Masjid tempat SanWani menjadi ustadz "serep" (cadangan) maupun di Pusat Kegiatan Belajar Warga yang dikelola Sanwani dan istri.

Dibuatlah kelompok-kelompok kajian untuk mencari solusi. Sanwani dan istri, melakukan pelatihan perkebunan dan pertanian Organik dan bahkan pelatihan manajemen, kadang-kadang mengundang teman-teman ahli pertanian sesama alumni di almamaternya dulu untuk bersedekah ilmu.

Warga secara gotong royong membangun pusat-pusat belajar ini dengan menggunakan bahan baku bambu yang kebetulan mudah dan banyak ditemui di desa itu. Tradisi belajar menjadi terbangun karena kegairahan warga yang dipicu bahwa apa yang mereka pelajari dan praktekkan benar-benar menjadi solusi nyata bagi permasalah di desa itu.

Sarwani menerapkan Multi Age Class dalam pembelajaran. Jadi secara level kelas, warga yang belajar hanya dikelompokkan menjadi Kelas Dasar (usia 7-10 tahun), Kelas Pra-Baligh (usia 11-14 tahun) dan kelas Dewasa (usia di atas 14 tahun). Sarwani menerapkan CBL-Context based Learning untuk Kelas Dasar dengan media belajar menggunakan Talular (Teaching and Learning using Local Resources), yaitu menggunakan sumberdaya yang banyak terdapat di desa itu secara mudah dan murah.

Sementara metode Project based Learning digunakan untuk kelas di atasnya. Belajarnya bukan di ruang2 kelas saja, namun justru lebih banyak praktek langsung di Kebun atau di Sawah bersama petani dan pekebun teladan, itu semua dalam rancangan proyek bersama.

Selain itu dalam satu team proyek, anggota team di tempatkan sesuai talentanya, misalnya yang berbakat pemimpin akan dijadikan manajer proyek, yang berbakat teknik akan ditempatkan pada pengembangan teknologi. yang berbakat marketing akan ditempatkan sebagai marketer, yang berbakat design akan ditempatkan untuk merancang kemasan dstnya. Selama proses proyek, karakter dan akhlak dapat dibangun dan ditumbuhkan tanpa harus dikurikulumkan.

Dalam model demikian tidak perlu UN, yang diperlukan adalah pengakuan masyarakat di akhir Project bahwa siswa yang terlibat proyek sudah terbukti dan dianggap mampu membangun desanya. Tujuan pendidikan seperti ini adalah melahirkan pemuda yang mampu membangun desanya sesuai talentanya, selebihnya silahkan siswa belajar lebih lanjut. Yang penting adalah "kutahu yang kumau" untuk membangun desanya.

Sekolah-sekolah yang ada di kecamatan itu banyak meniru model pembelajaran Sarwani. Para Guru justru semakin bergairah mengajar dan kepala sekolah semakin memiliki pijakan, mengapa dia harus menjadi kepala sekolah, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memajukan desanya, bukan sekedar menunggu tunjangan sertifikasi.

Sedikit demi sedikit permasalahan warga teratasi dengan Kegiatan Belajar Bersama (pendidikan) sebagai sentranya. Masalah kekurangan energy di desa itu telah teratasi dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Hydro, bahkan kelebihan listriknya bisa dijual ke desa sebelah. Masalah pembagian sumberdaya air telah teratasi dengan irigasi yang baik. Masalah lahan kritis telah diatasi dengan menanam pohon keras produktif yang bisa menghasilkan profit 15 Milyar per 10 Hektar dalam waktu 10 Tahun. Masalah kenakalan remaja, pengangguran dan ketidakharmonisan rumah tangga karena masalah ekonomi bisa direduksi secara signifikan. Sarwani pun bersama warga membangun koperasi bersama sekolah dan warga serta memasarkan hasil pertanian dan perkebunannya untuk desa sekitarnya dan sebagian lagi dijual ke kota.

Sekali lagi, Sanwani tidak sendiri, dia menggunakan jaringan sosial di dunia maya untuk mendapatkan pengetahuan, pencerahan dan dukungan dari berbagai komunitas terkait termasuk market.

Sarwani membuktikan bahwa pendidikan tidak harus serumit dan sepelik serta semahal yang dirancang pemerintah yang setengah hati melakukan desentralisasi. Pendidikan cukup mengkontekskan proses dan outputnya kepada realitas sosial, lingkungan dan ekonomi warga lalu menyerahkan prosesnya kepada komunitas warga.

Sanwani tidak pernah habis fikir mengapa anggaran 20% dari 1200T rupiah untuk pendidikan itu tidak pernah berhasil memperbaiki pendidikan bangsa ini. Sarwani tidak peduli dengan segala anggaran negara itu dan yang ingin ditularinya ke masyarakat adalah bahwa semestinya pendidikan dirancang sebagai sentra untuk memandirikan desa atau kampung, karena itu pendidikan harus berbasis keunggulan lokal dan berbasis komunitas warga desa.

Kini model pembelajaran Sarwani bisa ditiru di desa-desa di seluruh Indonesia, karena teman-teman Sarwani membuatkan portal pendidikan di internet yang memuat semua pengalaman Sarwani membangun desanya sehingga mudah dan murah untuk dipraktekan dan disesuaikan dengan kondisi desa di Indonesia. Sarwani memohon kepada Allah swt agar para Guru menjadi Guru yang mampu melahirkan siswa yang membangun desanya bukan sekedar hafalan-hafalan kosong yang tidak diterima langit dan ditolak bumi.

(Kisah Imajinatif)
Ditulis oleh Pak Harry Santosa, seorang praktisi dan pemikir dunia pendidikan yang mengelola Group Millenial Learning Center di Facebook.

Imajinasi yang luar biasa, penggambaran cita-cita luhur yang so inspiring. Selamat berkarya, Pak Harry.... Kami mendukungmu slalu... Bravo pendidikan Indonesia!

Btw, sakjane, namanya Sarwani atau Sanwani, to, Pak? hehehe......

Tidak ada komentar:

.