Assalamu'alaikum.... Selamat datang...

Minggu, 29 Mei 2011

Mengenang Rangkaian Kisahku di Bulan Mei (jilid 1)

Menjalani hari demi hari di bulan Mei ini, mengingatkan kembali pada serangkaian kisah yang telah terjadi dalam hidupku. Rasanya ingin kulihat lagi satu per satu perjalanan hidup yang telah kulalui semenjak melangkahkan kaki keluar dari kampus, sebuah dunia dan masa yang begitu indah dalam hidupku. Tapi di sini yang ingin kukenang adalah justru masa-masa setelahnya.

Meiku di 2001

Mei yang cukup bersejarah dalam hidupku, karena di bulan inilah aku menerima khitbah dari seorang lelaki yang belum terlalu kukenal sebelumnya. Perkenalan yang terjadi secara unik itu, berlanjut dengan dikenalkannya aku kepada keluarganya. Kemudian disepakati, pada pertemuan kedua yang terjadi di bulan Mei yang rencananya hanya perkenalan dua keluarga itu, yaitu dengan berkunjungnya keluarganya menemui keluargaku, ternyata langsung dibicarakan masalah waktu pernikahan. Olala... cevat sekaleee.... Baru pertemuan kedua udah langsung khitbah. Tapi aku sih manut-manut aja. Berhubung Bapak sama Ibu sebagai cheerleaders bukan lagi ngasih angin, tapi ngasih kipas angin.... Gak brenti-brenti ngasih motivasi. Yang penting Bapak sama Ibu ridlo dan senang, selama masih berada di jalan-Nya, bukankah Allah juga akan ridlo sama kita? kan ridlonya Allah mengiringi ridlonya orangtua. Dan apa lagi yang manusia cari dalam hidup ini jika bukan ridlo Allah? Ya, to, ya, to, ya, to? :D

Berawal dari pertemuan di bulan Mei inilah akhirnya disepakati waktu pernikahan kami di bulan Agustus tahun yang sama. Ya, tanggal 18 Agustus 2001, tepatnya di pertemuanku yang ketiga dengan calon pendamping hidup dan imamku yang juga merupakan hari berlangsungnya pernikahan kami. Pernikahan yang oleh sebagian teman dikatakan ajaib, karena pertemuan yang begitu singkat namun bisa diraih kata sepakat untuk melangkah ke fase yang cukup berat tanpa perlu banyak berdebat yang penting mengharap kehidupan yang penuh rahmat dari Allah Yang maha Hebat. :)

Meiku di 2002

Tahun pertama pernikahanku, Allah menganugerahi seorang anak laki-laki yang lahir dengan sehat dan lancar, meski di proses kelahirannya tidak didampingi sang ayah yang kemudian anak-anak memanggilnya dengan sebutan "Abah". Proses persalinan pertamaku yang memang kami sepakati untuk dijalani di kampung halaman, membuat abah tidak menyaksikan saat-saat genting persalinanku. Tapi alhamdulillah, karena kedua orangtuaku masih sehat, akupun senantiasa didampingi oleh Bapak yang begitu sabar dan telaten menunggui cucunya lahir. Ibu mempersiapkan kedatangan cucunya dengan menyiapkan perabotan di rumah, sementara Bapak mengantar dan menemaniku di Rumah Sakit Bersalin. Tepat pukul 00.15 tanggal 29 Mei 2002, lahirlah Nabil Hukama Zulhaiba.

Yang menarik, tepat ketika suara tangisnya terdengar begitu keras memecah keheningan malam, terdengar pula seruan "alhamdulillaaaaah...." dari orang-orang yang berada di luar ruang bersalin secara serempak. Siapa saja mereka, bahkan aku tak pernah tahu. Subhanallah.... ternyata kehadiranmu disambut bahagia oleh banyak orang, Nak....

Setelah mengadzani nabil, Mbah Kakung kemudian menelpon Abah yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju Wates. Kata Mbah Kakung, "Mas, cucuku udah lahir. Namanya Nabil dan alhamdulillah komplit." Sebuah isyarat yang biasa Bapak sampaikan ketika memberikan informasi kepada kami. Bapak suka menggunakan simbol-simbol. Bapak memang tahu 2 nama yang telah kami persiapkan untuk calon anak kami, jika laki-laki dikasih nama Nabil, jika perempuan dinamai Adila. Ya, begitulah cara Bapak mengabarkan berita gembira itu kepada suamiku.

Sesampai di RSB, abah menceritakan perasaannya kepadaku, bahwa ketika ditelpon Bapak, tanpa terasa ada air mata yang menitik. Sebuah rasa haru menyeruak di kalbu, bahwa kini ia telah menjadi seorang "bapak". Hmmm.... So sweet.... ^_^

Meiku di 2003

Memiliki bayi mungil nan lucu memang merupakan anugrah tak terkira. Begitu pula denganku. Satu tahun sudah usia Nabil yang waktu itu benar-benar sedang lucu-lucunya. Namun diusianya yang ke 12 bulan itu pula, keinginan untuk menyempurnakan pemberian ASI hingga usia 24 bulan harus kutepis karena dokter menyatakan aku telah positif hamil dan disarankan untuk menghentikan penyusuan.

Antara sedih dan seneng, karena dipercaya Allah untuk dikasih titipan lagi, sama harus menghentikan penyusuan. Sayang sekali waktu itu aku belum mendapat informasi jika bisa saja dilakukan penyusuan secara tandem, meski sedang hamil, menyusui bisa jalan terus asalkan kehamilannya tidak bermasalah. Ya sudahlah, nggak apa-apa, ya, Bil.... Setahun juga udah lumayan. hehehe.... menghibur diri ceritanya....

Meiku di 2004

Bulan Mei 2004 aku sedang mengurus anak keduaku yang terlahir di bulan januari, tepatnya tanggal 21. Kami beri nama Rifka Zaimatul Adila. Sebuah nama yang telah kami siapkan jauh-jauh hari saat menyambut kelahiran anak pertama. jadi, ceritanya ini nama cadangan. hehehe... alhamdulillah, akhirnya kepake juga.

Di samping mengasuh bayi kedua, inilah saat pertama kalinya aku hunting sekolah untuk Nabil yang mulai memasuki usia playgroup dan akhirnya Nabil bersekolah di Islamic Nursery School Bunga Matahari yang berlokasi di Cipinang Muara Jakarta Timur. Sebuah sekolah yang memiliki konsep pengajaran yang keren banget, tapi cukup muahal untuk ukuran kami. Untung ada spesial promo untuk kami yang masuk di angkatan pertama. Alhamdulillah... bisa mencicipi sekolah keren dengan budget pas-pasan. ^_^

Meiku di 2005

Sebulan menjelang kelulusan dari Nursery School, Nabil akan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Kindergarten/TK. Berhubung untuk melanjutkan sekolah di INS Bunga Matahari yang sudah mulai membuka kelas kindergarten namun biayanya semakin mahal dan tak terjangkau, Nabil pun harus puas dengan keputusan kami untuk pindah ke TK lain, yang kebetulan lokasinya bersebelahan dengan kontrakan kami. Jadi makin deket, dech, sekolahnya. Meskipun kualitasnya pas-pasan, nggak apa-apa, ya, nak....

=bersambung=

Sabtu, 21 Mei 2011

Mental Gratisan



Pagi-pagi buka FB dapat pesan dari groupnya Aku Bisa! yang benar-benar pas banget dengan apa yang sedang ada dalam pikiranku akhir-akhir ini. Sebagai bangsa yang terbaca oleh pelaku bisnis asing memiliki "Mental Gratisan" sangat parah, dibuatlah sistem bisnis yang nampak demikian indah dan memikat siapa pun yang kebelet sama yang judulnya kaya dan cinta dunia dengan segala pernak-perniknya.

Sadar atau tidak sadar, perilaku hedonisme dan konsumerisme senantiasa dijejalkan ke dalam otak para member dan prospeknya demi mendapatkan apa yang dinamakan poin, reward, kenaikan level, kebebasan finansial, kebebasan waktu atau apalah istilahnya. Terkadang demi meraih semua itu, mau nggak mau harus keluar kocek lebih banyak untuk menebus barang-barang yang sebetulnya tidak perlu dan sama sekali tidak dibutuhkan. Demi itu semua juga, persahabatan terkadang tergadaikan. Fyuh... Sebegitunya....

Nyesel, kenapa baru nyadar setelah semua berlalu. hehehe... Untung segera sadar dan bertobat untuk lebih berhati-hati dan senantiasa bersikap kritis buat jaga-jaga. Tapi tetep aja udah jadi korban iklan dan aksi brain washing yang luar biasa... Acung jempol deh buat perusahaan yang super duper bonafit itu. Ih, apaan, sih? Oww.... rahasia... nanti daku kena Perkara tentang pencemaran nama baik atau pemanfaatan media elektronik secara menyimpang atau apa tuh pokoknya yang judulnya berurusan sama hukum. hahaha.... Nggak perlu sebut nama, tapi bagi yang pernah terjun dan masih memiliki kesadaran penuh, pasti paham yang dimaksud.

So, supaya jangan lagi terulang, ada baiknya tulisan Isa Alamsyah ini dinikmati dengan tumakninah. Halah... apa coba? hehe... Selamat membaca.....

Mental Gratisan
Isa Alamsyah

Saya bertemu seorang ibu rumah tangga di Depok yang sedang membuka tabungan di sebuah bank.
Padahal beberapa hari lalu ia baru saja buka tabungan di bank yang sama hanya beda cabang.
Ternyata ia mendaftar lagi karena tabungan sebelumnya bertempat di cabang yang jauh dari rumah.
Lalu kenapa juga ibu itu membuka tabungan lama kalau tempatnya jauh?
Ternyata tabungan sebelumnya dibuka ketika bank tersebut membuka stan di sebuah mal di Jakarta.
Karena iming-iming mendapat minyak goreng gratis, ibu tersebut memutuskan untuk membuka rekening tabungan.
Yang tidak disadari ibu tersebut, ternyata bank yang membuka di stan tersebut adalah cabang yang berkedudukan di Kuningan Jakarta selatan atau 2 jam perjalanan dari Depok.
Ibu itu mulai kerepotan karena ternyata banyak urusan transaksi yang harus diurus langsung ke cabang pembuka.
Karena repot dan jauh akhirnya si ibu terpaksa membuka rekening lagi di Bank yang sama di dekat rumahnya.
Sedangkan di bank yang lama ada uang yang harus diendapkan sebesar Rp 50.000, kalau mau ditutup harus pergi ke Jakarta dan makan waktu dan ongkos yang lumayan banyak.
Hanya karena mengejar minyak gorang gratis, ibu tersebut sudah kehabisan uang dan waktu yang nilainya puluhan kali lebih mahal dari sebuah minyak goreng gratis.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Ini terjadi karena "mental gratisan".
Mental gratisana adalah mental yang asal ada barang gratis diambil.

Satu hal yang perlu diingat dalam duania usaha.
"TIDAK ADA YANG NAMANYA GRATIS"
Selalu saja ada timbal balik yang diterima perusahaan sekalipun berembel-embel gratis.

Kartu kredit menawarkan gratis iuran tahunan pada tahun pertama.
Padahal bagi perusahaan penerbit kartu kredit, yang diincar adalah iuran tahunan pada tahun kedua, ketiga, dst, dan tersedotnya dana kita untuk berbelanja melalui kartu tersebut.

Di mall ada sales yang menjajakan souvenir gratis.
Begitu kita ambil, kita diminta untuk mengisi formulir tanda terima dan ujung-ujungnya dipromosikan produk. Sebenarnya barang gratis tersebut hanya untuk memancing kita untuk ditawarkan produk mereka.
kalau kita tidak beli, souvenir dianggap sebagai pengganti waktu kita.
Dan jika kita terjebak, maka kita bisa jadi terbuai untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Lalu bagaimana bersikap?
Jangan cepat terbuai dengan iming-iming gratis.
Kalaupun gratis pastikan kita memang membutuhkannya.
Kalau gratis tapi tidak butuh, ngapain juga diambil?
Perhatikan konsekwensinya.
Kalau gratis tapi harus melakukan ini dan itu, sama saja bukan gratis.

Pernahkah Anda mengalaminya?
Awalnya merasa dapat gratis, tapi ternyata membayar lebih banyak?

Dikutip dari:
http://www.isaalamsyah.com/2011/05/mental-gratisan.html

The Unforgettable May

Meiku di 2006

Bagian dari kisah yang tak terlupakan adanya ya di episode ini. Diawali dari hari Jum'at siang, tanggal 26 Mei 2006. Suasana di rumah Bapak yang sering kusebut "mewah" karena memang posisinya yang 'mevet sawah' begitu tenang. Sambil menyelesaikan kegiatan jemur-menjemur pakaian, sesekali kulongok anak-anak yang bermain-main di halaman. Abahnya anak-anak dan Bapak bersiap untuk Jum'atan. Karena jemuranku yang cukup banyak hasil rapelan cucian yang cukup menumpuk sejak perjalanan dari jakarta, yang memang berniat untuk menjalani persalinan ketiga di kampung halaman, ya rasanya lumayan pegal-pegal badan ini. Namanya juga bumil mola, ibu hamil mo lahiran. hehehe....

Tapi semakin lama pegalnya bukan semakin mereda, malah tambah berasa. Dalam hati masih berpikir mungkin ini efek kegiatan jemur-menjemur di siang tadi yang lumayan banyak. Tapi makin malam, kok jadi seperti mules. Wah... mau lahiran nih jangan-jangan, pikirku. Waktu menunjukkan pukul 22.30. Segera saja kukemasi tas yang sudah disiapkan untuk bekal ke RS bersalin. Lagi asyik-asyiknya, eh tiba-tiba mati lampu. Gelap, dech. haha... ya iyalah... sejak kapan mati lampu tambah terang? hihi...

Mendengar kasak-kusuk di kamarku, ibu dan bapak ikut terbangun. Mengetahui aku yang mulai mules-mules, ibu menyarankan untuk segera berangkat ke rumah sakit daripada keburu lahir di rumah. Bisa berabe cede e ef ge entar. Lantaran jarak dari rumah ke rumah sakit cukup jauh, sekitar 7 km, segera saja kami pamitan sembari memohon maaf atas segala khilaf sama ibu dan bapak. Ya... kebiasaan kalau mau lahiran begitu, pamitan kayak orang mau pergi untuk selamanya. Siapa tahu, kan? Kutitip pula kedua bocahku yang masih terlelap itu kepada embahnya. Setelah mendaratkan kecupan di kening keduanya sambil berharap ini bukan kecupan yang terakhir, Bismillah... Berangkat.

Di perjalanan menuju RS Bersalin, ternyata mulesnya semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, eh, bukan, maksudnya posisi dudukku di samping abah yang lagi nyetir aja udah berubah-ubah dari miring kiri, balik kanan, selonjoran sampe jumpalitan. Haduh, rasanya kepengen terbang aja biar cepet nyampe rumah sakit. Abah yang memang baru pertama kalinya mendampingiku saat proses persalinan jadi panik. Wajahnya udah nggak tega banget kayaknya ngeliat aku yang bolak-balik sambil istighfar dan bertakbir. Habis, masak ya mau misuh-misuh lantaran kesakitan? Bisa diturunin di jalan, dech. haha... Enggak, lah....

Singkat cerita, sampailah kami di rumah sakit bersalin PKU Muhammadiyah cabang Wates untuk mendapatkan pertolongan dari paramedis yang senantiasa bersiap siaga membantu pasien yang bisa datang kapan pun tanpa ngasih jadwal. Sesampainya di sana, aku turun dengan susah payah dari kendaraan sambil dibantu abah dan disambut dengan sigap oleh seorang perawat yang kebetulan aku kenal dengannya. Ternyata kakak kelasku dulu wktu SMA. Sambil diminta duduk di kursi roda, aku dibawa menuju ruang persalinan. Baru lewat ruang UGD, kami distop oleh seseorang berjas putih untuk diminta ke ruang UGD dulu. Tapi mas perawat yang aku lupa namanya tapi ingat wajahnya itu, (hehe... sori, yo, mas... aku ki rodo amnesia, je...) menyarankan untuk langsung dibawa ke ruang persalinan aja. Tapi itu ibu ngotot buat ke UGD dulu. Ya sudah, akhirnya aku diperiksa dulu di UGD. Di sinilah aku dibuat jengkel setengah hidup sama ini ibu yang aku nggak tau posisi dia di situ sebagai apa. Entah sebagai bidan atau sebagai dokter jaga. Yang jelas, tengah malam begini ngga mungkin ada dokter kandungan yang berjaga. Setelah mempersilahkan aku untuk berbaring, kemudian dia mulai memeriksa perutku yang udah semakin mules da kontraksinya semakin kuat. Satu persatu pertanyaan mulai dilontarkan,
Petugas: Bu, yang dikeluhkan apa, ya?
Aku: Mules, nih, bu. Sepertinya saya sudah mau lahiran.
Petugas: Ibu bawa Kartu Periksa?
Aku: Bawa, Bu. Tapi saya periksanya di Jakarta. Kalau kartu dari sini saya nggak punya.
P: Oh, kalau begitu saya buatkan dulu, ya, bu.
A: Tapi, bu, saya udah mules banget, nih.... (sambil mengusap-usap perut untuk sekedar meredakan nyeri)
P: Oya, sebentar. Ibu sakit perut? Ibu mual atau bagaimana?
A: Aduh, ibu..... saya ini hamil, bu..... (Suara mulai meninggi setengah oktaf) saya ini mau melahirkan. Yang ada itu mules, bukan mual, bu!!
Mendengar suara saya sudah mulai sewot, mas perawat kembali menawarkan untuk segera saja aku dibawa ke ruang bersalin. Alhamdulillah, si ibu yang aneh bin ajaib itu mengalah juga. Dari tadi, kek, batinku kesal.

Setelah di ruang bersalin, kembali si ibu ajaib tadi menungguiku sambil main hape. Kemudian kata mas perawat, sedang dipanggilkan bidannya. Oh, jadi, siapakah makhluk ajaib yang satu ini? Akupun meminta abah untuk masuk menemaniku sambil minta diusap-usap pinggang yang semakin nyeri hebat. Sambil tergopoh-gopoh, datanglah bu bidan yang dengan cekatan langsung mempersiapkan peralatan persalinan dan mengkondisikanku untuk sedikit lebih rileks meski ya terpaksa dirileks-rilekskan. Dalam hati, masih saja bertanya-tanya, siapa, sih sebenarnya orang di samping ranjangku ini yang nyantai banget ini? Nggak responsif banget sama pasien. Nggak terbersit sedikitpun bayangan apakah dia seorang dokter. Habis, nggak potongan banget, deh kalau ngelihat reaksi dan pertanyaan yang sempat terlontar untuk mendeteksi keluhan pasien. Blas nggak ada bayangan ke arah dokter. Nggak pantes babar blas.... Tapi whoever, embuhlah, yang penting udah ada bidan yang cukup meyakinkanku untuk ngebantuin persalinanku.

Di sela-sela pembukaan terakhir dan nafasku yang mulai memburu, rasa ingin mengejan sudah tak tertahan. lagi-lagi si ibu ajaib itu berseloroh, jangan mengejan dulu, bu. Ditahan aja. Ngomong begitu sambil tetap mainin hape. Hadweh.... ni orang pa bukan, ya.... Dan tiba-tiba suamiku berlari keluar ruang bersalin sambil berteriak memanggil bidan yang sempat keluar, "Bu Bidan.... cepat, Bu... udah kelihatan kepalanya..."
Dan begitu abah dan bu bidan sampai di ruangan, dengan sekali mengejan, brujut.... oeeekkk..... Sambil nggak sadar lagi kalau mulutku meneriakkan kata, "Allahu Akbar."
Alhamdulillah.... Abah dan bu bidan mengucap hamdallah bersamaan. Legaaaa.... sudah rasanya.... Setelah bayi merah itu berhasil terlahir, abah langsung mengajakku ngobrol supaya kesadaranku tetap terjaga. Sementara bu bidan sibuk mengurusi segala hal tentang bayiku. Mataku malah tiba-tiba mengantuk dan pengen banget tidur.

Di saat abah ngajak ngomong enth apa yang diomongin, aku makin lemes aja. Ya ngantuk, ya lemes, sebuah kondisi yang nggak diperbolehkan untuk tidur pas habis lahiran. Biar nggak bablas, katanya. Bener, nggak, sih? kan capek banget, nih.... Sesaat, tiba-tiba aku ingat si ibu yang ajaib tadi. Kemana ya dia? Ngapain aja, ya? Eh... ternyata dia lagi mandiin anakku. Yo wislah, biarin. Setelah beres, dan diadzani oleh abahnya, dibawalah bayiku yang kami namai Faqih Atqiya Zulfathi itu ke pelukanku. Laki-laki, Mi, kata abah, dan langsung kucium, kupeluk, dan kutimang bayiku yang mungil itu.

Entah hanya karena perasaanku saja atau dari mana datangnya rasa itu, ketika kutatap wajah polosnya, kulihat wajah itu begitu bening dan bercahaya. Kupanjatkan doa dalam hati, semoga kelak kau menjadi penyejuk dan penerang ummat ini, Nak. Amin...

Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati pagi di RSB sambil menunggu air untuk persiapan mandi pagi, tiba-tiba ranjangku bergoyang-goyang. Semakin kencang dan berayun-ayun kuat dan menyadarkan kami bahwa telah terjadi gempa yang begitu kuat. Dengan tergopoh-gopoh, kami berusaha keluar ruangan menuju tempat terbuka untuk sekedar menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Dengan tertatih kuberjalan sendiri keluar ruangan, sementara bayiku telah dibawa oleh abah duluan. Sampai di halaman, hampir saja terjatuh karena bumi masih belum cukup dengan guncangannya. Alhamdulillah, seorang perawat dengan sigap menangkapku dan mendudukkanku ke kursi roda yang telah ia siapkan. Belum selesai juga bumi berguncang. Sempat kuamati orang-orang yang sambil berteriak, bertasbih, mencari tempat aman. Ada yang jongkok di taman, diantaranya tim medis ajaib yang sangat ketakutan, bu bidan yang hebatnya masih sempat mengurus pasien, para kerabat pasien yang menjaga saudaranya yang sedang sakit, dan beragam aktivitas lain yang benar-benar menggambarkan kepanikan yang mengiringi peristiwa di pagi itu.

Di saat kami terhuyung-huyung karena bumi yang masih enggan untuk diam, pepohonan dan tanaman di taman RSB kulihat terayun-ayun begitu kencang, hingga sewaktu kulihat dinding bangungan yang melengkung ke kanan ke kiri, hanya takbir, tahmid dan tahlil yang mampu kuucapkan. Tak kalah heboh, baskom-baskom wadah air mandi pasien yang sedang diletakkan di atas troli bergelimpangan menimbulkan bunyi gelontangan, ditambah suara tabung-tabung oksigen dari ruang peralatan pun berjatuhan, membuat suasana semakin dramatis. Benar-benar kejadian yang luar biasa.

Yang sempat membuatku tak habis pikir, si ibu yang bikin dongkol tadi malam itu malah sibuk menyelamatkan diri sendiri dengan berjongkok menutupi kepala dengan wajah pucat pasi di sebelah pohon perdu di taman. hihihi... Lucu aja ngelihatnya. Persis seperti anak kecil yang ketakutan karena dimarahi orangtuanya. Kayak tim medis yang lain, dong, Bu. Disela kepanikan masih sempat mengurus dan membantu pasien, bukannya ngurusin diri sendiri. Halah.... malah jadi ngomel, dech...

Setelah gempa mereda, kami kembali ke ruang masing-masing. Perawat yang berjaga semalam sambil mengambil sesuatu dari ruangan itu sempat berseloroh, "Mbak, dikasih nama siapa anaknya? Gimana kalau Lindu aji aja? Kan lahirnya pas ada lindu," kata Mas Perawat sambil ketawa-ketiwi. Kami dan Bu Bidan pun tertawa mendengar keisengannya.

Buy the way, tim medis yang semalam membuatku keki itu ternyata adalah seorang dokter. Hal itu baru kuketahui ketika pagi hari melakukan cek pasien. Hahaha.... Dokter??? Nggak pantes blas, bu..... Mending Mas Perawatnya aja yang naik pangkat jadi dokter, atau Bu Bidannya aja yang naik pangkat jadi dokter kandungan. Jauh lebih profesional. Masih juga sempat terjadi perdebatan kecil denganku, namun tentang apa aku sudah lupa. Yang jelas, itu dokter benar-benar bikin aku bertanya-tanya. Sekolah dokternya dimana, ya? Kok bisa gitu lulus dengan predikat dokter. hahaha.... Nggak sopan banget, ya, pasien yang satu ini. Jangan ditiru, ya... :)

Namun tak berapa lama, gempa susulan kembali terjadi dan kami putuskan untuk duduk-duduk saja di teras. Deg-degan juga, euy... Kalo dinding yang habis goyang dombret tadi tiba-tiba runtuh, gimana, coba? Hmmm.... na'udzubillah... ya Allah.... mohon perlindungan-Mu dari segala mara bahaya. Amin... Sekejap kuteringat kedua anak dan orangtuaku yang berada di rumah. Ya Allah, lindungilah mereka....

Tak lama kemudian, terdengar suara celoteh yang begitu kukenal. Ya, anak-anakku ternyata menyusul ke RSB bersama embahnya. "Ummii.... mana dedekku?" tanya Nabil dan Adila begitu melihatku menggendong bayi. "Ini dedek Faqih, namanya." kuperkenalkan bayi merah itu kepada kakak-kakaknya. Seiring kedatangan kedua bocah tadi, bapak dan ibuku pun beriringan di belakangnya. Kemudian mengalirlah cerita kejadian saat gempa terjadi.

"Pas gempa sing pisanan, Nabil ki tak gendong metu mergo isih turu. Njuk tak kekke Mbah Uti nang njobo. Aku njuk mlayu, arep njupuk Dila. Ealaah... Nabil ki malah mlayu mlebu meneh njuk ngglinding nang peturon. Dila tak jupuk tak kekke Mbah Uti, njuk aku yo karo nibo nangi kae le mlebu ngomah ki. Mbasan tekan njeron kamar ki Nabil malah nesu-nesu ra gelem dijak metu. Wah, jan... njuk kepiye, ngono... Yo tak panggul wae karo nabrak-nabrak. Njuk Nabil tangi trus ngerti nek ono lindu. Hoalah, Bil...Bil... Malah ngajak uyak-uyakan karo simbah. hehehe...." begitulah penuturan bapakku yang disambut Nabil sambil cengar-cengir. Hmmmm.... aku dan abahnya pun cuma bisa manyun dibuatnya. hehehe....

Kemudian bapak juga menceritakan bahwa ada beberapa tetangga kami yang rumahnya hancur lebur rata dengan tanah, karena bangunannya yang tidak permanen dan memang sudah tua. Alhamdulillah, rumah orangtua kami masih berdiri kokoh. Namun, begitu melihat berita di TV, betapa ngilu dan miris hati kami, ternyata beberapa kilometer dari dari daerah kami, korban yang jatuh begitu banyak dan rumah-rumah yang hancur leburpun tak terhitung lagi jumlahnya. Jaringan telepon seluler pun sebagian besar terputus karena pemancarnya bertumbangan, dan hanya satu operator yang masih bertahan. Alhamdulillah, itu operator adalah layanan yang kami gunakan sehingga handset kami masih bisa digunakan untuk mencari info dan kabar dari teman maupun kerabat kami.

Pada saat yang sama, kakak pertamaku sedang menjalani pelatihan di Jalan kaliurang, dan waktu kami telpon, menyampaikan kalau atap dan beberapa dinding bangunan tempat acaranya berlangsung juga runtuh. Hari itupun acara dibubarkan dan peserta dipulangkan.

Tak berselang berapa lama, di RSB tempatku melahirkan mulai berdatangan korban dari daerah Bantul. Korban-korban ini ternyata rujukan dari Rumah Sakit Bantul yanng sudah tak mampu lagi menampung korban yang jumlahnya luar biasa banyaknya. Semakin siang korban semakin banyak dan RSB pun penuh sesak dengan korban gempa. Mendengar suara jeritan dan rintihan korban yang sedang ditangani, sebagian besar mengalami luka bocor dan patah tulang, tak kuat juga hati ini serasa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Ngilu dan pilu sekali rasanya. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk ijin ke bagian medis supaya bisa pulang dan alhamdulillah diijinkan.

Tapi, kebayang nggak, sih, jika para korban tadi ditangani oleh dokter ajaib tadi? Haduh, nggak bisa mebenebak, dech... Dan nggak usah menebak-nebak, lah. Ya Allah... Semoga tim dokter yang lainnya segera hadir untuk memberikan penanganan yang lebih baik.

Yah, begitulah kisah kelahiran anak ketiga yang disambut oleh peristiwa dahsyat yang sama sekali tak bisa diduga dan diterka datangnya. Kini, si Lindu Aji pun tumbuh menjadi anak yang lucu dan yang menggemaskan, karena dia sendiri suka merasa diri lucu. Sehingga kamipun terhibur karenanya.

Bagaimanakah kisahku di bulan Mei di tahun-tahun selanjutnya? To be continued, ya....

Sabtu, 14 Mei 2011

Resep Kroket Tempe Sayuran

Iseng-iseng nyari resep buat cemilan, eh, dapet, dech.... resep yang ini. Biar nggak ilang, disematkan dulu di sini sebelum dilakukan uji masak di dapur.

Kebetulan bahan-bahannya gampang ditemui dan berserakan di tukang sayur komplek. Pajang dulu, ya, resepnya... Ini dia....

Kroket Tempe

Jakarta - Kroket yang satu ini khusus buat si kecil yang kurang suka sayuran. Protein tempe dan wortel akan membuat camilan ini kaya akan protein dan serat. Nyam... nyam!

Bahan:
250 g tempe yang bagus, kukus, potong kasar (ya iyalah... mosok tempe basi? hehe...)
100 g daging ayam (buat yang alergi, pake daging ayam kampung, ya)
1 butir telur ayam (ini juga, bisa diganti telur ayam kampung)
2 sdm tepung terigu
1 sdm kaldu ayam bubuk (yang bebas MSG namanya Kaldu Al Sultan)
1/2 sdt merica bubuk
1/2 sdt pala bubuk
1 sdt garam
50 g wortel, serut halus, peras
minyak goreng

Cara membuat:

* Masukkan tempe, daging ayam dan bahan lainnya dalam food processor hingga lembut. Jika tak ada, haluskan tempe lalu cincang daging ayam hingga halus dan campur dengan semua bahan.
* Masukkan wortel, putar food processor sebentar.
* Bentuk adonan menjadi bulat panjang atau bulat.
* Goreng dalam minyak panas dan banyak hingga kekuningan.
* Angkat dan tiriskan.

Untuk 10 buah

Yang bikin liputan ini adalah (eka/Odi).
Resep ini aku dapet dari detik food di sini.

.