Assalamu'alaikum.... Selamat datang...

Sabtu, 21 Mei 2011

The Unforgettable May

Meiku di 2006

Bagian dari kisah yang tak terlupakan adanya ya di episode ini. Diawali dari hari Jum'at siang, tanggal 26 Mei 2006. Suasana di rumah Bapak yang sering kusebut "mewah" karena memang posisinya yang 'mevet sawah' begitu tenang. Sambil menyelesaikan kegiatan jemur-menjemur pakaian, sesekali kulongok anak-anak yang bermain-main di halaman. Abahnya anak-anak dan Bapak bersiap untuk Jum'atan. Karena jemuranku yang cukup banyak hasil rapelan cucian yang cukup menumpuk sejak perjalanan dari jakarta, yang memang berniat untuk menjalani persalinan ketiga di kampung halaman, ya rasanya lumayan pegal-pegal badan ini. Namanya juga bumil mola, ibu hamil mo lahiran. hehehe....

Tapi semakin lama pegalnya bukan semakin mereda, malah tambah berasa. Dalam hati masih berpikir mungkin ini efek kegiatan jemur-menjemur di siang tadi yang lumayan banyak. Tapi makin malam, kok jadi seperti mules. Wah... mau lahiran nih jangan-jangan, pikirku. Waktu menunjukkan pukul 22.30. Segera saja kukemasi tas yang sudah disiapkan untuk bekal ke RS bersalin. Lagi asyik-asyiknya, eh tiba-tiba mati lampu. Gelap, dech. haha... ya iyalah... sejak kapan mati lampu tambah terang? hihi...

Mendengar kasak-kusuk di kamarku, ibu dan bapak ikut terbangun. Mengetahui aku yang mulai mules-mules, ibu menyarankan untuk segera berangkat ke rumah sakit daripada keburu lahir di rumah. Bisa berabe cede e ef ge entar. Lantaran jarak dari rumah ke rumah sakit cukup jauh, sekitar 7 km, segera saja kami pamitan sembari memohon maaf atas segala khilaf sama ibu dan bapak. Ya... kebiasaan kalau mau lahiran begitu, pamitan kayak orang mau pergi untuk selamanya. Siapa tahu, kan? Kutitip pula kedua bocahku yang masih terlelap itu kepada embahnya. Setelah mendaratkan kecupan di kening keduanya sambil berharap ini bukan kecupan yang terakhir, Bismillah... Berangkat.

Di perjalanan menuju RS Bersalin, ternyata mulesnya semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, eh, bukan, maksudnya posisi dudukku di samping abah yang lagi nyetir aja udah berubah-ubah dari miring kiri, balik kanan, selonjoran sampe jumpalitan. Haduh, rasanya kepengen terbang aja biar cepet nyampe rumah sakit. Abah yang memang baru pertama kalinya mendampingiku saat proses persalinan jadi panik. Wajahnya udah nggak tega banget kayaknya ngeliat aku yang bolak-balik sambil istighfar dan bertakbir. Habis, masak ya mau misuh-misuh lantaran kesakitan? Bisa diturunin di jalan, dech. haha... Enggak, lah....

Singkat cerita, sampailah kami di rumah sakit bersalin PKU Muhammadiyah cabang Wates untuk mendapatkan pertolongan dari paramedis yang senantiasa bersiap siaga membantu pasien yang bisa datang kapan pun tanpa ngasih jadwal. Sesampainya di sana, aku turun dengan susah payah dari kendaraan sambil dibantu abah dan disambut dengan sigap oleh seorang perawat yang kebetulan aku kenal dengannya. Ternyata kakak kelasku dulu wktu SMA. Sambil diminta duduk di kursi roda, aku dibawa menuju ruang persalinan. Baru lewat ruang UGD, kami distop oleh seseorang berjas putih untuk diminta ke ruang UGD dulu. Tapi mas perawat yang aku lupa namanya tapi ingat wajahnya itu, (hehe... sori, yo, mas... aku ki rodo amnesia, je...) menyarankan untuk langsung dibawa ke ruang persalinan aja. Tapi itu ibu ngotot buat ke UGD dulu. Ya sudah, akhirnya aku diperiksa dulu di UGD. Di sinilah aku dibuat jengkel setengah hidup sama ini ibu yang aku nggak tau posisi dia di situ sebagai apa. Entah sebagai bidan atau sebagai dokter jaga. Yang jelas, tengah malam begini ngga mungkin ada dokter kandungan yang berjaga. Setelah mempersilahkan aku untuk berbaring, kemudian dia mulai memeriksa perutku yang udah semakin mules da kontraksinya semakin kuat. Satu persatu pertanyaan mulai dilontarkan,
Petugas: Bu, yang dikeluhkan apa, ya?
Aku: Mules, nih, bu. Sepertinya saya sudah mau lahiran.
Petugas: Ibu bawa Kartu Periksa?
Aku: Bawa, Bu. Tapi saya periksanya di Jakarta. Kalau kartu dari sini saya nggak punya.
P: Oh, kalau begitu saya buatkan dulu, ya, bu.
A: Tapi, bu, saya udah mules banget, nih.... (sambil mengusap-usap perut untuk sekedar meredakan nyeri)
P: Oya, sebentar. Ibu sakit perut? Ibu mual atau bagaimana?
A: Aduh, ibu..... saya ini hamil, bu..... (Suara mulai meninggi setengah oktaf) saya ini mau melahirkan. Yang ada itu mules, bukan mual, bu!!
Mendengar suara saya sudah mulai sewot, mas perawat kembali menawarkan untuk segera saja aku dibawa ke ruang bersalin. Alhamdulillah, si ibu yang aneh bin ajaib itu mengalah juga. Dari tadi, kek, batinku kesal.

Setelah di ruang bersalin, kembali si ibu ajaib tadi menungguiku sambil main hape. Kemudian kata mas perawat, sedang dipanggilkan bidannya. Oh, jadi, siapakah makhluk ajaib yang satu ini? Akupun meminta abah untuk masuk menemaniku sambil minta diusap-usap pinggang yang semakin nyeri hebat. Sambil tergopoh-gopoh, datanglah bu bidan yang dengan cekatan langsung mempersiapkan peralatan persalinan dan mengkondisikanku untuk sedikit lebih rileks meski ya terpaksa dirileks-rilekskan. Dalam hati, masih saja bertanya-tanya, siapa, sih sebenarnya orang di samping ranjangku ini yang nyantai banget ini? Nggak responsif banget sama pasien. Nggak terbersit sedikitpun bayangan apakah dia seorang dokter. Habis, nggak potongan banget, deh kalau ngelihat reaksi dan pertanyaan yang sempat terlontar untuk mendeteksi keluhan pasien. Blas nggak ada bayangan ke arah dokter. Nggak pantes babar blas.... Tapi whoever, embuhlah, yang penting udah ada bidan yang cukup meyakinkanku untuk ngebantuin persalinanku.

Di sela-sela pembukaan terakhir dan nafasku yang mulai memburu, rasa ingin mengejan sudah tak tertahan. lagi-lagi si ibu ajaib itu berseloroh, jangan mengejan dulu, bu. Ditahan aja. Ngomong begitu sambil tetap mainin hape. Hadweh.... ni orang pa bukan, ya.... Dan tiba-tiba suamiku berlari keluar ruang bersalin sambil berteriak memanggil bidan yang sempat keluar, "Bu Bidan.... cepat, Bu... udah kelihatan kepalanya..."
Dan begitu abah dan bu bidan sampai di ruangan, dengan sekali mengejan, brujut.... oeeekkk..... Sambil nggak sadar lagi kalau mulutku meneriakkan kata, "Allahu Akbar."
Alhamdulillah.... Abah dan bu bidan mengucap hamdallah bersamaan. Legaaaa.... sudah rasanya.... Setelah bayi merah itu berhasil terlahir, abah langsung mengajakku ngobrol supaya kesadaranku tetap terjaga. Sementara bu bidan sibuk mengurusi segala hal tentang bayiku. Mataku malah tiba-tiba mengantuk dan pengen banget tidur.

Di saat abah ngajak ngomong enth apa yang diomongin, aku makin lemes aja. Ya ngantuk, ya lemes, sebuah kondisi yang nggak diperbolehkan untuk tidur pas habis lahiran. Biar nggak bablas, katanya. Bener, nggak, sih? kan capek banget, nih.... Sesaat, tiba-tiba aku ingat si ibu yang ajaib tadi. Kemana ya dia? Ngapain aja, ya? Eh... ternyata dia lagi mandiin anakku. Yo wislah, biarin. Setelah beres, dan diadzani oleh abahnya, dibawalah bayiku yang kami namai Faqih Atqiya Zulfathi itu ke pelukanku. Laki-laki, Mi, kata abah, dan langsung kucium, kupeluk, dan kutimang bayiku yang mungil itu.

Entah hanya karena perasaanku saja atau dari mana datangnya rasa itu, ketika kutatap wajah polosnya, kulihat wajah itu begitu bening dan bercahaya. Kupanjatkan doa dalam hati, semoga kelak kau menjadi penyejuk dan penerang ummat ini, Nak. Amin...

Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati pagi di RSB sambil menunggu air untuk persiapan mandi pagi, tiba-tiba ranjangku bergoyang-goyang. Semakin kencang dan berayun-ayun kuat dan menyadarkan kami bahwa telah terjadi gempa yang begitu kuat. Dengan tergopoh-gopoh, kami berusaha keluar ruangan menuju tempat terbuka untuk sekedar menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Dengan tertatih kuberjalan sendiri keluar ruangan, sementara bayiku telah dibawa oleh abah duluan. Sampai di halaman, hampir saja terjatuh karena bumi masih belum cukup dengan guncangannya. Alhamdulillah, seorang perawat dengan sigap menangkapku dan mendudukkanku ke kursi roda yang telah ia siapkan. Belum selesai juga bumi berguncang. Sempat kuamati orang-orang yang sambil berteriak, bertasbih, mencari tempat aman. Ada yang jongkok di taman, diantaranya tim medis ajaib yang sangat ketakutan, bu bidan yang hebatnya masih sempat mengurus pasien, para kerabat pasien yang menjaga saudaranya yang sedang sakit, dan beragam aktivitas lain yang benar-benar menggambarkan kepanikan yang mengiringi peristiwa di pagi itu.

Di saat kami terhuyung-huyung karena bumi yang masih enggan untuk diam, pepohonan dan tanaman di taman RSB kulihat terayun-ayun begitu kencang, hingga sewaktu kulihat dinding bangungan yang melengkung ke kanan ke kiri, hanya takbir, tahmid dan tahlil yang mampu kuucapkan. Tak kalah heboh, baskom-baskom wadah air mandi pasien yang sedang diletakkan di atas troli bergelimpangan menimbulkan bunyi gelontangan, ditambah suara tabung-tabung oksigen dari ruang peralatan pun berjatuhan, membuat suasana semakin dramatis. Benar-benar kejadian yang luar biasa.

Yang sempat membuatku tak habis pikir, si ibu yang bikin dongkol tadi malam itu malah sibuk menyelamatkan diri sendiri dengan berjongkok menutupi kepala dengan wajah pucat pasi di sebelah pohon perdu di taman. hihihi... Lucu aja ngelihatnya. Persis seperti anak kecil yang ketakutan karena dimarahi orangtuanya. Kayak tim medis yang lain, dong, Bu. Disela kepanikan masih sempat mengurus dan membantu pasien, bukannya ngurusin diri sendiri. Halah.... malah jadi ngomel, dech...

Setelah gempa mereda, kami kembali ke ruang masing-masing. Perawat yang berjaga semalam sambil mengambil sesuatu dari ruangan itu sempat berseloroh, "Mbak, dikasih nama siapa anaknya? Gimana kalau Lindu aji aja? Kan lahirnya pas ada lindu," kata Mas Perawat sambil ketawa-ketiwi. Kami dan Bu Bidan pun tertawa mendengar keisengannya.

Buy the way, tim medis yang semalam membuatku keki itu ternyata adalah seorang dokter. Hal itu baru kuketahui ketika pagi hari melakukan cek pasien. Hahaha.... Dokter??? Nggak pantes blas, bu..... Mending Mas Perawatnya aja yang naik pangkat jadi dokter, atau Bu Bidannya aja yang naik pangkat jadi dokter kandungan. Jauh lebih profesional. Masih juga sempat terjadi perdebatan kecil denganku, namun tentang apa aku sudah lupa. Yang jelas, itu dokter benar-benar bikin aku bertanya-tanya. Sekolah dokternya dimana, ya? Kok bisa gitu lulus dengan predikat dokter. hahaha.... Nggak sopan banget, ya, pasien yang satu ini. Jangan ditiru, ya... :)

Namun tak berapa lama, gempa susulan kembali terjadi dan kami putuskan untuk duduk-duduk saja di teras. Deg-degan juga, euy... Kalo dinding yang habis goyang dombret tadi tiba-tiba runtuh, gimana, coba? Hmmm.... na'udzubillah... ya Allah.... mohon perlindungan-Mu dari segala mara bahaya. Amin... Sekejap kuteringat kedua anak dan orangtuaku yang berada di rumah. Ya Allah, lindungilah mereka....

Tak lama kemudian, terdengar suara celoteh yang begitu kukenal. Ya, anak-anakku ternyata menyusul ke RSB bersama embahnya. "Ummii.... mana dedekku?" tanya Nabil dan Adila begitu melihatku menggendong bayi. "Ini dedek Faqih, namanya." kuperkenalkan bayi merah itu kepada kakak-kakaknya. Seiring kedatangan kedua bocah tadi, bapak dan ibuku pun beriringan di belakangnya. Kemudian mengalirlah cerita kejadian saat gempa terjadi.

"Pas gempa sing pisanan, Nabil ki tak gendong metu mergo isih turu. Njuk tak kekke Mbah Uti nang njobo. Aku njuk mlayu, arep njupuk Dila. Ealaah... Nabil ki malah mlayu mlebu meneh njuk ngglinding nang peturon. Dila tak jupuk tak kekke Mbah Uti, njuk aku yo karo nibo nangi kae le mlebu ngomah ki. Mbasan tekan njeron kamar ki Nabil malah nesu-nesu ra gelem dijak metu. Wah, jan... njuk kepiye, ngono... Yo tak panggul wae karo nabrak-nabrak. Njuk Nabil tangi trus ngerti nek ono lindu. Hoalah, Bil...Bil... Malah ngajak uyak-uyakan karo simbah. hehehe...." begitulah penuturan bapakku yang disambut Nabil sambil cengar-cengir. Hmmmm.... aku dan abahnya pun cuma bisa manyun dibuatnya. hehehe....

Kemudian bapak juga menceritakan bahwa ada beberapa tetangga kami yang rumahnya hancur lebur rata dengan tanah, karena bangunannya yang tidak permanen dan memang sudah tua. Alhamdulillah, rumah orangtua kami masih berdiri kokoh. Namun, begitu melihat berita di TV, betapa ngilu dan miris hati kami, ternyata beberapa kilometer dari dari daerah kami, korban yang jatuh begitu banyak dan rumah-rumah yang hancur leburpun tak terhitung lagi jumlahnya. Jaringan telepon seluler pun sebagian besar terputus karena pemancarnya bertumbangan, dan hanya satu operator yang masih bertahan. Alhamdulillah, itu operator adalah layanan yang kami gunakan sehingga handset kami masih bisa digunakan untuk mencari info dan kabar dari teman maupun kerabat kami.

Pada saat yang sama, kakak pertamaku sedang menjalani pelatihan di Jalan kaliurang, dan waktu kami telpon, menyampaikan kalau atap dan beberapa dinding bangunan tempat acaranya berlangsung juga runtuh. Hari itupun acara dibubarkan dan peserta dipulangkan.

Tak berselang berapa lama, di RSB tempatku melahirkan mulai berdatangan korban dari daerah Bantul. Korban-korban ini ternyata rujukan dari Rumah Sakit Bantul yanng sudah tak mampu lagi menampung korban yang jumlahnya luar biasa banyaknya. Semakin siang korban semakin banyak dan RSB pun penuh sesak dengan korban gempa. Mendengar suara jeritan dan rintihan korban yang sedang ditangani, sebagian besar mengalami luka bocor dan patah tulang, tak kuat juga hati ini serasa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Ngilu dan pilu sekali rasanya. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk ijin ke bagian medis supaya bisa pulang dan alhamdulillah diijinkan.

Tapi, kebayang nggak, sih, jika para korban tadi ditangani oleh dokter ajaib tadi? Haduh, nggak bisa mebenebak, dech... Dan nggak usah menebak-nebak, lah. Ya Allah... Semoga tim dokter yang lainnya segera hadir untuk memberikan penanganan yang lebih baik.

Yah, begitulah kisah kelahiran anak ketiga yang disambut oleh peristiwa dahsyat yang sama sekali tak bisa diduga dan diterka datangnya. Kini, si Lindu Aji pun tumbuh menjadi anak yang lucu dan yang menggemaskan, karena dia sendiri suka merasa diri lucu. Sehingga kamipun terhibur karenanya.

Bagaimanakah kisahku di bulan Mei di tahun-tahun selanjutnya? To be continued, ya....

Tidak ada komentar:

.